Catatan : Roy Fachraby Ginting SH ,M.Kn Dosen Universitas Sumatera Utara
MEDAN SUMUT,Indonesia24.co|Belajar tentang kerajaan Aru atau Haru kita bisa membuka catatan pelaut Portugis Tome Pires menggambarkan penguasa negeri Aru atau Haru sebagai raja paling besar di seluruh Sumatra.
Nama kerajaan Aru atau Haru tercatat dalam sumber sumber lokal dan mancanegara. Teks tertua, Nagarakrtagama yang selesai ditulis pada 1356, menyebut nama Haru atau Aru.
Kerajaan Aru atau Haru juga tercatat dalam Pararaton. Ketika menyerukan Sumpah Palapa, Mahapatih Gajah Mada menyebut nama-nama negeri yang diharapkan bisa bersatu di bawah Majapahit, salah satunya Haru (Sumatra Utara).
Kerajaan Aru atau Haru memiliki banyak penduduk dan lanchara (kapal). Kerajaan ini juga menguasai banyak aliran sungai di wilayahnya dan kerajaan ini merupakan daerah penghasil beras kualitas baik, buah-buahan dan hasil ternak melimpah, serta segala rupa hasil hutan, seperti kamper, kemenyan, rotan, dan madu.
Catatan Tiongkok tertua, Sejarah Dinasti Yuan, menyebut Aru mengirim utusan dua kali ke istana Kubilai Khan pada 1282 dan 1295.
Dalam Xingcha Shenglan (1436), Fei Xin, pejabat yang empat kali mendampingi Cheng Ho, menyebut masyarakat Aru mengumpulkan kamper dari hutan untuk dijual ke pedagang asing yang singgah. Mereka juga mengimpor sutra berwarna, tembikar, manik-manik, dan sebagainya.
Sementara itu, menurut Ma Huan (1433), penerjemah Cheng Ho, dalam Yingyai Shenglan, Kerajaan Aru atau Haru memiliki sungai bernama Sungai Air Tawar.
Dalam masa yang sama, Sejarah Dinasti Ming mencatatnya sebagai negeri yang tandus dan hanya menghasilkan sedikit panen. Namun, utusan-utusan dari Aru ke Tiongkok masih dikirim pada 1411, 1419, 1421, dan 1423.
Begitu juga Cheng Ho yang diutus kaisar Tiongkok ke Aru pada 1412. Persinggahannya yang kedua terjadi pada 1431. Ia berkunjung dengan membawa hadiah untuk raja Aru. Inilah kontak formal terakhir Tiongkok dengan Aru. Nama Haru atau Aru kemudian menghilang dari catatan Tiongkok.
Maka Kerajaan Aru atau Haru yang kita lihat dari kondisi geografis yang tentu sangat mendukungnya menjadi pemain penting dalam perniagaan di Selat Malaka.
Situs Kota Cina yang oleh Milner dihubungkan dengan Kerajaan Aru atau Haru menunjukkan kebangkitan kerajaan ini setelah lemahnya pengaruh Sriwijaya.
Situs ini berada di antara Sungai Belawan dan Sungai Deli yang bermuara di Selat Malaka. Dari temuan arkeologis di situs itu, diduga kontak dagang dan budaya telah berkembang sejak abad ke-11.
Pasca Sriwijaya diserang Kerajaan Chola pada 1025, semua wilayah bawahannya di Sumatra bagian utara dan Semenanjung Malaya semakin aktif dalam perniagaan internasional. Ini dikatakan Ery Soedewo, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Utara dalam “Manik-Manik Kaca Salah Satu Indikator Kejayaan dan Keruntuhan Perniagaaan Pulau Kampai” yang terbit di jurnal Kalpataru, Vol. 24 No. 2 (2015).
Bukti arkeologis itu menunjukkan kemakmuran dan pengaruh terbesar kerajaan Aru atau Haru terjadi sejak pertengahan abad ke-12 hingga ke-14. “Pada saat kapal Dinasti Sung berdagang dengan Sriwijaya, tepat sebelum Aru menarik perhatian Kubilai Khan,” lanjut Milner.
Keberadaan Kerajaan Aru atau Haru dalam sejarah Selat Malaka terbukti menjadi batu sandungan bagi Aceh sewaktu mengkonfrontasi raja-raja di Semenanjung Malaya dan juga Portugis yang bercokol di Melaka.
Cerita keagungan Kerajaan Aru atau Haru di abad ke-16 secara panjang lebar dijabarkan Ferñao Mendez Pinto dalam Peregrinação yang terbit pada abad ke-17.
Namun demikian, Suma Oriental yang ditulis Tome Pires sebenarnya lebih dahulu menyebut soal Aru walau lebih singkat daripada Pinto.
Dikutip dari terjemahan Armando Cortesao terhadap Suma Oriental (2018), dikatakan bahwa Kerajaan Aru gemar sekali berperang dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya.
Baheula kata Pires, raja-raja di dunia Melayu seakan memiliki musuh bebuyutan, misal Pedir melawan Kedah, Pahang melawan Siam, Palembang melawan Lingga dan seterusnya.
Lantas siapa musuh bebuyutan Aru ? Menurut Pires, awalnya musuh bebuyutan Aru adalah Kesultanan Melaka. Kedua sisi selat Melaka itu seringkali terlibat konflik, yang utamanya dipicu oleh perompakan pelaut-pelaut Aru di sekitar pesisir barat Semenanjung Malaya.
Uniknya, Pires mengatakan permusuhan Melaka-Aru terjadi bukan karena perebutan atau klaim wilayah, melainkan karena mata pencaharian utama orang Aru memang merompak.
“Tidak ada seorang pun yang mempercayai mereka. Tanpa mencuri mereka tidak akan bisa hidup, karena itulah tidak ada yang bersedia berkawan dengan mereka”, begitu tegas Pires.
Sejarah kemudian bergeser ketika Portugis berhasil menjatuhkan Kesultanan Melaka yang perkasa.
Rupanya penguasa baru Semenanjung Malaya ini sama sekali berbeda dengan Melaka, karena armada Aru bisa dengan mudah dipatahkan oleh Portugis.
Namun ancaman nyata bagi Kerajaan Aru atau Haru rupanya bukan Portugis yang ada di seberang lautan, melainkan tetangga sepulaunya yang tengah meniti puncak kejayaan.
Di ujung utara Sumatra, Kesultanan Aceh baru saja mencaplok bekas juragannya, Kesultanan Pasai, pada tahun 1524. Menurut Taslim Batubara dalam “Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahhar: Sang Penakluk dari Kesultanan Aceh Darussalam” (2020), hal ini seakan membakar sumbu permusuhan bagi Portugis yang sebelumnya menempatkan raja boneka di Pasai.
Kobaran api permusuhan itu mau tidak mau mendorong Aceh ke masa-masa ekspansifnya. Perluasan wilayah amat diperlukan untuk memperkuat sumber daya penyokong militer Aceh yang tengah ditantang oleh keganasan Portugis.
Perubahan angin politik ini tentu juga memengaruhi Kerajaan Aru atau Haru yang teguh dan enggan tunduk pada kekuasaan mana pun.
Masa genting Kerajaan Aru atau Haru kemudian benar-benar terjadi pada tahun 1539. Ketika itu Kerajaan Aru atau Haru tiba-tiba mengirimkan surat ke dua pejabat Portugis di Melaka, yakni Pedro da Faria dan Estevano da Gama.
Lukman Hakim pada disertasinya Military Alignment Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Usmani tahun 1562-1640 M (2022), menyebut bahwa dua pejabat itu awalnya mengabaikan sama sekali surat dari Raja Aru atau Haru ini.
Namun, karena Raja Aru atau Haru mengatakan “kalau Aru atau Haru jatuh maka Aceh akan semakin dekat dengan Melaka” Portugis kemudian memutuskan untuk membantu Kerajaan Aru atau Haru dalam menghadapi Aceh.
Maka, ditugaskanlah Pinto ke Aru atau Haru pada 10 Oktober 1539 untuk mengantar bantuan persenjataan dari Portugis.
Sesampainya Pinto di Aru atau Haru, Pinto mendapatkan informasi bahwa Aru atau Haru hanya memiliki 6000 pasukan yang dilengkapi 40 meriam kecil yang dibeli dari pedagang Portugis Antonio de Garcia.
Sementara itu, Pinto juga mengetahui bahwa pasukan Aceh yang bersiap menyerang Aru atau Haru yang berjumlah 12.000 dan 4000 di antaranya merupakan pasukan asing dari Turki, Abisinia, Gujarat serta Malabar.
Runtuhnya Kerajaan Aru atau Haru diperkirakan karena serangan dari Kerajaan Aceh pada tahun 1539. Namun, Aru atau Haru berhasil bangkit kembali dengan bantuan Johor.
Namun, penaklukan kembali dilakukan oleh Aceh pada tahun 1564. Sekali lagi, Kerajaam Aru atau Haru meminta bantuan Johor dan mendapatkan kemerdekaannya.
Hal tersebut tidak berlangsung lama, karena Raja Aceh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1613 berhasil menaklukkan dan menutup buku Kerajaan Aru atau Haru dengan menangkap raja Aru atau Haru.
Pada tahun 1365, Kerajaan Haru ditaklukkan oleh Majapahit. Pada tahun 1539, kota pelabuhan Kota Rentang jatuh ke Aceh
Pada tahun 1564, Kerajaan Haru dikalahkan oleh tentara Uthmaniyah. Pada tahun 1613, Sultan Iskandar Muda dari Aceh melakukan serangan terakhir untuk menutup nasib Kerajaan Haru.
Akibat runtuhnya Kerajaan Aru atau Haru ini, maka di wilayah bekas kerajaan ini berdiri berbagai raja raja kecil yang menguasai wilayah masing masing.
Setelah runtuhnya kerajaan Aru atau Haru maka di bekas wilayahnya berdirilah Kesultanan Deli dan pecahannya Kesultanan Serdang serta satu lagi Kesultanan Langkat.
Ketiga kerajaan ini bercirikan budaya Melayu Islam yang dimiliki dan didirikan oleh warga di bekas wilayah Kerajaan Aru atau Haru itu.
Walaupun 3 kerajaan Islam Melayu itu ada dan eksis, masih ada berdiri beberapa kerajaan Karo yang masih juga tetap eksis dengan tetap mendirikan kerajaan setingkat Raja Urung yakni :
1. Raja Urung Senembah (Karo-karo Barus),
2. Hamparen Perak Sepulu Dua Kuta (Sembiring Pelawi),
3. Raja Urung Sukapiring (Karo Sekali Sukapiring dan Sembiring Meliala serta Karo-karo Purba),
4. Raja Urung Sunggal Serbanaman (Karo-karo Surbakti) yang menjadi Ulun Jandji (pemegang sumpah Kesultanan) yang juga merupakan Kalimbubu dari keluarga Kesultanan Deli.
Ke 4 Raja Urung diatas, dengan perkembangan jaman akhirnya berubah menjadi kerajaan yang di pengaruhi Budaya Melayu beragama Islam dan menjadi Datuq 4 Suku di wilayah Medan dan Deli Serdang saat ini.
Satu kerajaan Karo di sekitar kota Medan yang tetap mempertahankan budaya dan agama atau kepercayaan Karo adalah Kerajaan Sibayak Lau Cih yang tidak menjadi Melayu dan tidak menjadi kerajaan Islam di sekitar kota Medan saat ini.
Dari fakta fakta sejarah ini tentu menjadi salah satu bukti tentang eksistensi dan bukti yang tentu sangat sahih tentang keberadaan Suku Karo di Pesisir Timur sebagai suku asli, sebab federasi kesain, kuta, kesebayaken dan urung Karo sudah berbiak jauh sebelum Raja atau Sultan Kerajaan Deli berdiri dan hal ini artinya, masyarakat Suku Karo jauh sebelumnya sudah mendiami daerah pesisir itu.
Hal itu dapat kita lihat dari sejarah pernikahan Raja Deli pertama Gojah Pahlawan yang mengawini putri Karo Nang Baluan Beru Surbakti anak dari Raja Urung Sunggal serta aturan dan ketentuan 4 Raja Urung Karo yang menetapkan pengangkatan dan pengesahan Sultan Deli.
Bahkan, Kota Medan yang kini menjadi kota ketiga terbesar di Indonesia juga awalnya sebuah kuta (kampung) atau permukiman Suku Karo yang didirikan oleh Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi, yang merupakan seorang dari Karo Gugung.
Namun perlu diketahui, bahwa sebelum Guru Pa Timpus turun gunung, masyarakat Karo dan negeri-negeri Karo sudah berkembang di Pesisir dengan adanya Wilayah kerajaan atau Raja Urung Senembah, Sunggal dan Sukapiring dan Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi juga mendirikan Kerajaan Sepulu dua Kuta Hamparan Perak dan berkolaborasi dengan Kalimbubunya Panglima Hali Tarigan penguasa Wilayah Pulu Berayan.
keberadaan kampung-kampung Karo di Deli Hulu hasil gelombang migrasi dari Tanah Karo ke sekitar wilayah Deli Serdang saat ini di buktikan dengan lebih 3/4 wilayah Deli Serdang adalah wilayah 4 Raja Urung Karo yakni Raja Urung Sunggal Serbanyaman (Surbakti), Raja Urung Sepulu Dua Kuta Lau Cih (Purba), Raja Urung Suka Piring ( Karo Sekali – Meliala) dan Raja Urung Senembah (Barus) di Sumatera Timur saat itu.
Bahkan di hitung dari seluruh Kecamatan di Deli Serdang adalah Wilayah asli suka Karo yang tergambar dari nama Kecamatan seperti Sibolangit, Kutalimbaru, Pancur Baru, Deli Tua, Gunung Meriah, Sibiru Biru, Namo Rambe, STM Hulu, STM Hilir, Tanjung Merawa, Galang dan lain lain.
Mejuah Juah..!!! Asak Terus…!!!
Reporter :ERI NANGIN.